Fujoshi

Minggu, 25 April 2010 Diposting oleh Yes We Can, Dude!
Dekade ini merupakan dekade kebangkitan para otaku. Tidak hanya para otaku cowok dengan demam moe-nya yang menjalar di segala aspek anime, tapi juga satu lagi kelompok otaku… para otaku cewek yang mengaliaskan diri sebagai fujoshi.

Apa itu fujoshi dan bedanya dengan otaku cewek non-fujoshi? Secara gamblang, fujoshi adalah otaku cewek yang menyukai yaoi dan BL. Jika anda tidak mengetahui apa itu yaoi dan BL mungkin anda sebaiknya tidak membaca artikel ini lebih lanjut.

Biar saya jelaskan bagi yang ingin dan belum tahu: yaoi menunjuk ke doujinshi atau manga yang menunjukkan hubungan seksual secara eksplisit antara dua pria, sedangkan BL merupakan singkatan dari Boys Love, yang menunjuk ke hubungan romantis antara dua pria namun tidak mencapai taraf eksplisit.

Mungkin ada yang bertanya kenapa hal ini ada di fandom otaku? Kenapa mereka tidak menonton pornografi homoseksual saja? Mudah saja, ada sebuah elemen di yaoi yang menarik para cewek, yaitu ‘cinta’. . . Secara cewek lebih mengejar cinta daripada seks, para fujoshi tidak mencari seks secara primer tapi emosi karakter. Hal lain adalah karakter yang sering menjadi ‘incaran’ para fujoshi justru tidak memiliki orientasi homoseksual (karakter yang gay secara terbuka sangat jarang dan karakter demikian tidak populer di kalangan fujoshi). Kebanyakan memiliki orientasi heteroseksual, sehingga memberikan ilusi ‘cinta’lah yang membuat mereka menjadi tertarik dengan sesama jenis melebihi orientasi seksual awal mereka.

Tapi bagaimana ini semua dimulai? Bagaimana para cewek menganggap bahwa hubungan antara dua pria merupakan sebuah hal yang ‘indah’? Bagaimana para pembuat anime dan manga secara sadar maupun tidak sadar memasukkan eleven yang menarik mereka?

Ini semua menapak tilas di dekade 70-an kepada para pelopor manga shoujo, kelompok “The Magnificent Forty-Niners”. Mereka menunjuk ke sekelompok mangaka cewek yang meletakkan dasar-dasar dari manga shoujo. Mereka tidak segan memuat tema-tema berat yang jarang diusung di masa itu, terutama masalah kesetaraan dan identitas gender. Riyoko Ikeda, salah satunya, menciptakan manga “Rose of Versailles” di mana salah satu tokoh utamanya, Lady Oscar merupakan seorang wanita yang berpakaian pria. Moto Hagio menciptakan manga “They Were Eleven” di mana salah satu tokohnya, Frol, berasal dari planet di mana gender ditentukan setelah orang tersebut dewasa (dengan sistem masyarakat yang patriarki), dan dia berjuang supaya dia dapat menjadi pria dan bukan wanita. Di sinilah, mereka juga mengangkat tema homoseksualitas antara pria dengan karya-karya mereka, “Heart of Thomas” dan “Kaze to Ki no Uta”. Kemampuan bercerita mereka mampu membuat orang menghargai hal ini, tapi sepertinya mereka telah menyalakan sesuatu di hati para cewek. Ya, para fujoshi (meski saat itu masih belum terorganisir dan disebut demikian) telah lahir.

Dekade 80-an membawa satu aspek baru bagi fandom anime: Doujinshi. Lapar akan yaoi/BL yang belum menjamur di era tersebut, para fujoshi mengalihkan perhatiannya ke cerita mainstream… dan mereka menemukannya di Captain Tsubasa. Mereka telah belajar untuk membaca lebih dalam terhadap hubungan persahabatan dan rival antara para lelaki, dan di mana lagi hal itu banyak selain di manga olahraga yang mayoritas karakternya cowok. Dipercaya bahwa doujin yaoi pertama adalah Captain Tsubasa. Mereka pun mulai membaca Shonen Jump untuk mencari cerita-cerita seperti itu. Apa yang mereka temukan selanjutnya? Saint Seiya. Dengan begitu banyak karakter cowok dan desain karakter yang androgynous (sampai menjadikan sebuah joke tersendiri di Indonesia mengenai apakah Shun itu cowok atau cewek) Saint Seiya meng-klik dengan para fujoshi. Mangaka terkenal CLAMP pun memulai karirnya dengan doujin di era ini (meski doujin mereka parodi, bukan BL/yaoi)

Pada dekade 90-an pengaruh mereka sudah tak terbendung lagi. Mereka secara khusus mempengaruhi Shonen Jump dan genre shonen secara umumnya dengan menyadarkan bahwa manga shonen akan mendapat lebih banyak pembaca apabila secara tidak langsung menarget cewek. Meski pada era ini Dragon Ball Z merupakan yang paling populer, mereka lebih tertarik dengan yang cowoknya tidak begitu macho seperti Rurouni Kenshin, Yu Yu Hakusho, dan Slam Dunk. Bishonen (karakter cowok cakep) pun menjadi standar, dan desain dasar karakter utama karakter Shonen Jump menjadi karakter cowok cakep seperti Kenshin (mungkin tidak bishonen berdasarkan standar sekarang, tapi jelas lebih dibanding karakter shonen macho di era 80-an seperti Kenshiro). Anime yang menarget mereka pun mulai bermunculan, seperti Gensomaden Saiyuki dan Weiss Kreuz. Gundam pun terpengaruh dengan Gundam Wing yang memiliki para pilot bishonen.

Di dekade 2000, pengaruh mereka sudah invasif ke segala macam aspek. Shonen Jump sudah secara aktif menarget mereka, dengan manga seperti Prince of Tennis, dan fanservice ’fujoshi’ seperti borgol antara Light dan L di Death Note, atau ciuman tak sengaja Naruto dan Sasuke di Naruto. Bahkan, fujoshi menjadi salah satu tipe karakter yang sering muncul di anime/manga komedi.

Percayalah, di pop culture Jepang sekarang para fujoshi menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan setara dengan otaku cowok. Bisa dijamin bahwa sebuah anime/manga/game bisa mencapai popularitas lebih tinggi apabila memperhitungkan fujoshi dan tidak hanya otaku cowok saja.
Label: , , ,

Posting Komentar

Comment, da?